Deregulasi Perbankan
Perbankan sangat marak di Negara tercinta kita ini yaitu Indonesia. Semakin berkembangnya jaman, semakin berkembang juga perkembangannya. Di sela – sela kemajuan perbankan, kita akan mengenang bahkan mengerti bagaimana mulainya sampai pasang surutnya perbankan di Indonesia. Deregulasi perbankan sudah digulirkan sejak 14 tahun lalu. Kesan bongkar pasang itu tak terhindarkan. Bahkan, dari dampak yang kini terasa yaitu goyahnya sejumlah bank swasta, sangat terasa bahwa aturan-aturan perbankan Indonesia memang tak didasari pengalaman negara-negara lain yang sudah lebih lama mengatur soal-soal bank. Sehingga Dibuatlah cara – cara untuk memajukan perbankan di Indonesia. Dibawah ini merupakan paket / kebijakan yang dibuat pemerintah untuk menderegulasikan perbankan di Indonesia :
Deregulasi perbankan yang dikeluarkan pada 1 Juni 1983 mencatat beberapa hal. Di antaranya: memberikan keleluasaan kepada bank-bank untuk menentukan suku bunga deposito. Kebijakan tersebut bertujuan agar perbankan sebanyak mungkin membiayai pemberian kreditnya dengan dana simpangan masyarakat dan mengurangi ketergantungan bank-bank pada KLBI. Kemudian dihapusnya campur tangan Bank Indonesia terhadap penyaluran kredit. Pakjun 1983 belum mengatur perubahan kebijakan kelembagaan dan dorongan perbankan untuk menciptakan produk-produk jasa perbankan baru maupun meningkatkan efisiensi dalam operasi bank. Deregulasi ini juga yang pertama memperkenalkan Sertifikat Bank Indonesia (SBI) dan Surat Berharga Pasar Uang (SPBU). Aturan ini dimaksudkan untuk merangsang minat berusaha di bidang perbankan Indonesia di masa mendatang.
Lima tahun kemudian pemerintah bersama BI melangkah lebih lanjut dalam deregulasi perbankan dengan mengeluarkan Paket Kebijakan 27 Oktober 1988 (Pakto 88) yang menjadi titik balik dari berbagai kebijakan penertiban perbankan 1971-1972. Pakto 88 boleh dibilang adalah aturan paling liberal sepanjang sejarah Republik Indonesia di bidang perbankan. Pemberian izin usaha bank baru yang teleh diberhentikan sejak tahun 1971 dibuka kembali oleh Pakto 88. Contohnya, hanya dengan modal Rp 10 milyar maka seorang pengusaha bisa membuka bank baru. Dan kepada bank-bank asing lama dan yang baru masuk pun diijinkan membuka cabangnya di enam kota. Bahkan bentuk patungan antar bank asing dengan bank swasta nasional diijinkan. Dengan demikian, secara terang-terangan monopoli dana BUMN oleh bank-bank milik negara dihapuskan. Bahkan, beberapa bank kemudian menjadi bank devisa karena persyaratan untuk mendapat predikat itu dilonggarkan. Suatu kemudahan yang sebelumnya belum pernah dirasakan oleh dunia perbankan. Dengan berbagai kemudahan Pakto 88, meledaklah jumlah bank di Indonesia. Banyaknya jumlah bank membuat kompetisi pencarian tenaga kerja, mobilisasi dana deposito dan tabungan juga semakin sengit. Ujung-ujungnya, karena bank terus dipacu untuk mencari untung, sisi keamanan penyaluran dana terabaikan, dan akhirnya kredit macet menggunung. Salah satu ketentuan fundamental dalam Pakto 88 adalah perjanjian untuk bank devisa yang hanya mensyaratkan tingkat kesehatan dan asset bank telah mencapai minimal Rp 100 juta.
Kondisi ini kemudian memunculkan Paket Februari 1991(Paktri) yang mendorong dimulainya proses globalisasi perbankan dan berisi ketentuan yang mewajibkan bank berhati-hati dalam pengelolaannya. Salah satu tugasnya adalah berupaya mengatur pembatasan dan pemberatan persyaratan perbankan dengan mengharuskan dipenuhinya persyaratan permodalan minimal 8 persen dari kekayaan. Yang diharapkan dalam paket itu adalah akan adanya peningkatan kualitas perbankan Indonesia. Dengan mewajibkan bank-bank memenuhi aturan penilaian kesehatan bank yang mempergunakan formula kriteria tertentu, tampaknya paket itu tidak bisa menghindari kesan sebagai produk aturan yang diwarnai trauma atas terjadinya kasus kolapsnya Bank Perbankan Asia, Bank Duta, dan Bank Umum Majapahit.
Setelah itu, lahir UU Perbankan baru bernomor 7 tahun 1992 yang disahkan oleh Presiden Soeharto pada 25 Maret 1992. Undang Undang itu merupakan penyempurnaan UU Nomor 14 tahun 1967. Sejak saat itu, terjadi perubahan dalam klasifikasi jenis bank, yaitu bank umum dan BPR. Intinya, UU itu menggarisbawahi soal peniadaan pemisahan perbankan berdasarkan kepemilikan. Kalau UU yang lama secara tegas menjelaskan soal pemilikan bank/pemerintah, pemerintah daerah, swasta nasional, dan asing. Mengenai perizinan, pada UU lama persyaratan mendirikan bank baru ditekankan pada permodalan dan pemilikan. Pada UU yang baru, persyaratannya meliputi berbagai unsur seperti susunan organisasi, permodalan, kepemilikan, keahlian di bidang perbankan, kelayakan kerja, dan hal-hal lain yang ditetapkan oleh Menteri Keuangan berdasarkan pertimbangan Bank Indonesia. UU Perbankan 1992 juga menetapkan berbagai ketentuan tentang kehati-hatian pengelolaan bank dan pengenaan sanksi bagi pengurus bank yang melakukan tindakan sengaja yang merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Selain itu, UU Perbankan 1992 juga member wewenang yang luas kepada bank Indonesia untuk melaksanakan fungsi pengawasan terhadap perbankan. Pada periode 1992-1993, perbankan nasional mulai menghadapi permasalahan yaitu meningkatnya kredit macet yang menimbulkan beban kerugian pada bank dan berdampak keengganan bank untuk melakukan ekspansi kredit. Selain kredit macet, yang menjadi penyebab keengganan bank dalam melakukan ekspansi kredit adalah karena ketatnya ketentuan dalam Pakfeb 1991 yang membebani perbankan.
Untuk mengurangi sebagian kendala yang dihadapi perbankan dalam melakukan ekspansi kredit dan koreksi terhadap Paktri yang begitu mengekang bank, pemerintah mengeluarkan Paket 29 Mei 1993 (Pakmei). Dengan Pakmei itu, pemerintah berharap mengucurkan kredit, sehingga dunia usaha tidak lesu lagi dan industri otomotif bisa bergairah kembali. Disebutkan dalam Pakmei ini pencapaian CAR (capital adiquacy ratio) atau perimbangan antara modal sendiri dan aset sesuai dengan ketentuan adalah 8 persen. Kemudian penyempurnaan lain pada paket itu adalah ketentuan loan to deposit ratio (LDR). Berikutnya, sejak 1994 perekonomian Indonesia mengalami booming economy dengan sector property sebagai pilihan utama. Keadaan itu menjadi daya tarik bagi investor asing. Pakmei 1993 ternyata memberikan hasil pertumbuhan kredit perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan melewati tingkat yang dapat memberikan tekanan berat pada upaya pengendalian moneter. Aturan yang terakhir diluncurkan adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 68 tahun 1996 yang ditanda tangani Presiden RI pada 3 Desember 1996. Belajar dari pengalaman Bank Summa, PP ini sangat menguntungkan para nasabah karena nasabah bank akan tahu persis rapor banknya. Dengan begitu, mereka bisa ancang-ancang jika suatu saat banknya sedang goyah atau bahkan nyaris pailit.
Sebagai rangkaian kebijakan deregulasi dengan mengantisipasi perkembangan sebagaimana diuraikan di atas, pada 17 Desember 1990 Bank Indonesia menetapkan Pola Dasar Pengawasan dan Pembinaan Bank yang dimaksudkan untuk menyesuaikan pola pengawasan dan pembinaan bank agar tetap diarahkan untuk meningkatkan kedewasaan dan kemandirian dalam pola pikir dan sikap yang bertanggungjawab dalam mengamankan kepentingan masyarakat serta menunjang pembangunan ekonomi. Pola dasar pengawasan dan pembinaan bank harus dikembangkan sebagai konsep yang terintegrasi dengan dunia perbankan dan pihak – pihak lain yang terkait.
Analisis / kesimpulan :
Jadi analisa atau kesimpulan saya pada paket – paket Deregulasi tersebut yaitu :
a. Pakjun 1983 ( 1 Juni 1983 )
Di Indonesia pada tahun 1983 sangatlah kurang bagus dalam perekonomiannya terutama di bidang perbankan. Sebelum tahun 1983, pemerintah sangatlah tidak adil terhadap bank – bank di luar kepemilikan pemerintah. Hanya bank milik pemerintah saja yang di suntik dananya dan hanya bisa menggunakan fasilitas khusus yang diberikan oleh pemerintah. Contohnya saja, bank – bank milik pemerintah mendapatkan kredit likuiditas pada Bank Indonesia ( KLBI ) dan juga banyak menanggung program – program dari pemerintah. Maka dengan deregulasi pakjun tersebut merupakan awal dari sebuah proses keadilan bagi perbankan di luar perbankan pemerintah dan membantu merangsang minat berusaha dalam perbankan di Indonesia. Pada Paket ini juga, Bank Indonesia ( KLBI ) sudah tidak dapat memberikan kredit kepada perbankan di Indonesia. Agar, perbankan di Indonesia tidak terlalu terpaku atau manja dengan perkreditan yang diberikan Bank Indonesia. Dan, Perbankan lain bisa belajar dan dapat memberikan kredit kepada masyarakat. Deregulasi ini menyangkut tiga segi: peningkatan daya saing bank pemerintah, penghapusan pagu kredit, dan pengaturan deposito berjangka. Dalam ketentuan itu, bank pemerintah bebas menentukan suku bunga deposito serta suku bunga kredit. Langkah ini dimaksudkan agar masyarakat yang memiliki dana nganggur tertarik untuk menyimpan di bank pemeintah. Sebab pada saat itu, suku bunga yang ditawarkan oleh bank swasta lebih tinggi ketimbang bank pemerintah. Yaitu 18 persen, sementara bank pemerintah hanya 14-15 persen.
b. Pakto 88 ( 27 Oktober 1988 )
Didalam paket oktober 88 ini merupakan suatu asupan gizi yang sangat bagus dalam perbankan di Indonesia. Dengan paket oktober ini pemerintah lebih peka terhadap perkembangan perbankan di Indonesia. Dalam paket ini lebih bebas atau liberal kepada pengusaha yang ingin mendirikan bank sendiri atau bank baru. Disini juga , bank – bank asing yang sudah membangun bank sebelum paket ini dluncurkan dapat membangun cabang di 6 kota. Dan bank asing lainnya juga dapat bekerja sama dengan bank – bank swasta nasional. Ini membuat suatu monopoli penyuntikan BUMN terhadap bank – bank milik pemerintah. Dengan kemudahan syarat dalam mendirikan bank, membuat suatu peledakan bank di Indonesia. Sehingga menimbulkan suatu kelemahan yang sangat luar biasanya terhadap paket tersebut.
c. Paket Februari 1991 ( Paktri )
Pada paket ini merupakan suatu paket trauma dalam perbankan di Indonesia. Banyak kegagalan pada bank – bank yang ada di Indonesia sebelum paktri ini diluncurkan oleh pemerintah. Didalam paktri ini lebih menganjurkan kepada kehati – hatian bank pada pengelolaannya. Disini diharapkan agar dapat lebih meningkatkan kualitas perbankan di Indonesia dengan ketentuan – ketentuan atau syarat – syarat yang sudah di tetapkan.
d. UU Perbankan Baru Bernomor 7 tahun 1992
UU ini disahkan pada tanggal 25 maret 1992. Disini sudah tidak ada lagi bank berdasarkan kepemilikan. Sehingga bank dibagi menjadi 2 yaitu Bank Umum dan BPR. Didalam UU ini lebih menegaskan terhadap kehati – hatian bank pada pengelolaannya dan pemberian sanksi kepada pegawai yang dapat merugikan bank, seperti tidak melakukan pencatatan dan pelaporan yang benar, serta pemberian kredit fiktif, dengan ancaman hukuman pidana. Namun, UU ini belum dapat menyelesaikan masalah yang dialami perbankan yaitu kredit macet yang membuat bank rugi besar.
e. Paket 29 Mei 1993 (Pakmei)
Paket Mei ini lebih menspesifikasikan bagaimana cara pemerintah dalam menangani masalah yang sedang dihadapi oleh perbankan di Indonesia. Pemberian kredit pada dunia usaha di Indonesia merupakan salah satu cara atau upaya pemerintah dalam menangani masalah ini. Pemberian kredit ini bertujuan agar memberikan ”semangat” kepada dunia usaha yang sedang lesu dan dunia usaha dapat bangkit seperti dulu sehingga dapat memajuakan perekonomian di Indonesia. CAR (capital adiquacy ratio) dan ketentuan loan to deposit ratio (LDR) merupakan sebagian upaya pemerintah dalam memajukan dunia usaha di Indonesia. Sehingga dengan cara – cara yang lumayan cepat dan berkualitas yang dilakukan oleh pemerintah, membuahkan hasil yang dashyat dalam perekonomian di Indonesia, yaitu menjadi daya tarik bagi investor asing dan ternyata memberikan hasil pertumbuhan kredit perbankan dalam waktu yang sangat singkat dan melewati tingkat yang dapat memberikan tekanan berat pada upaya pengendalian moneter.
f. 17 Desember 1990
Pada tahun ini, Bank Indosia lebih mengarahkan kepada pengawasan dan pembinaan pada bank – bank di Indonesia. Dimaksudkan agar bak – bank tersebut lebih dewasa dan lebih mandiri dalam pengelolaan, peningkatan, pola pikir dan sikap yang bertanggungjawab dalam mengamankan kepentingan masyarakat serta menunjang pembangunan ekonomi.
g. Dari semua paket diatas dari tahun ke tahun, membuat kita agak sulit bernafas atas kemajuan bank di Indonesia. Karena Bank merupakan Jantung bagi perekonomian di Indonesia. Dari lihat sisi tahun ke tahun, banyak pelajaran yang kita ambil dalam memajukan Bank di Indonesia. Menurut saya, bank di Indonesia akan lebih maju lagi apabila masyarakat awam dengan pemerintah lebih bekerja sama dalam memajukan bank. Namun, pemerintah lebih mengarahkan serta mengawasi secara ketat agar tidak terjadi kesalahan apapun yang dapat merugikan bank. Selain itu, pemerintah juga agak lebih ketat dalam pemilihan pendirian bank agar tidak terjadi peledakan bank di Indonesia. Dengan peledakan bank tersebut membuat masyarakat akan bingung dalam menetukan bank mana yang lebih baik dan bank pun akan lebih menjadi bingung dalam pemberian kredit kepada masyarakat. Sehingga bank pun akan lebih ketat dalam penentuan syarat pemberian kredit. Yang penting, bank disini berguna untuk memajukan perekonomian di Indonesia derta mensejahterakan kehidupan masyarakat dalam dunia usaha dan dalm kehidupan sehari – hari.
Refrensi :
http://www.tempo.co.id/ang/min/01/52/utama3.html
http://lulumaulina.blogspot.com/2009/10/deregulasi-perbankan-indonesia.html
Kamis, 20 Maret 2014
Posts by : Admin
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
0 komentar:
Posting Komentar